Minggu, 17 Oktober 2021

Hayam Wuruk dan Perang Bubat

 

MENGENAI HAYAM WURUK DAN PERANG BUBAT

Membahas mengenai Majapahit tidak akan ada habisnya. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya di Hutan Tarik ini mengundang banyak rasa keingintahuan untuk mengupas tiap sejarahnya. Salah satu raja yang termasyur di Majapahit ialah Hayam Wuruk bergelar Sri Rajasanagara, putra dari Tribhuwana Wijayatunggadewi dan suaminya, Kertawijaya Bhre Tumapel (Cakradara). Hayam Wuruk adalah cucu dari Raden Wijaya putra Dyah Lembu Tal dan Gayatri putri Raja Kertanegara.

Hayam Wuruk lahir ketika Gunung Kelud meletus dan gempa bumi di Panbayu pada tahun 1334. Hayam Wuruk berkuasa pada tahun 1350 - 1389. Naik takhta di usia 16 tahun, mengharuskan Hayam Wuruk menjalankan pemerintahan dengan pendampingan Bathara Sapta Prabu (Dewan Penasihat Raja Majapahit) dan Mahapatih Amangkubhumi Gadjah Mada. Dengan demikian, kebijakan pemerintahan Majapahit pada masa itu sangat ditentukan oleh Bathara Sapta Prabu dan Gadjah Mada yang kedudukannya setingkat dengan Perdana Menteri.

Tak hanya berpengaruh dalam membuat kebijakan pemerintahan, Bathara Sapta Prabu dan Gadjah Mada juga berperan dalam menentukan calon permaisuri Hayam Wuruk. Bathara Sapta Prabu menyarankan supaya Hayam Wuruk mempersunting Dyah Pithaloka Citraresmi-- putri Maharaja Linggabuana Wisesa dari Kerajaan Sunda, dengan alasan untuk menyambung kembali tali persaudaraan antara dua kerajaan.

Pada akhirnya nanti, rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Dyah Pithaloka Citraresmi menimbulkan benturan kepentingan antara Hayam Wuruk dengan dukungan dari Tribhuwana Tunggadewi, Maharaja Linggabuwana Wisesa, dan Gadjah Mada.

Hayam Wuruk ingin menikahi Dyah Pithaloka dengan kepentingan menyambung kembali tali persaudaraan antara Majapahit dan Sunda. Memiliki kepentingan sama, Maharaja Linggabuwana Wisesa bersedia menyerahkan putrinya karena ingin menyambung kembali tali persaudaraan antara dua kerajaan yang telah lama terputus. Namun berbeda lagi dengan kepentingan Gadjah Mada yang menghendaki Dyah Pithaloka diserahkan sebagai tanda takluk terhadap Majapahit dan bukannya sebagai pengantin. Menurut beberapa sejarahwan, hal ini dilakukan untuk memenuhi Sumpah Palapa milik Gadjah Mada, yang bertekad menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.

Atas kepentingan Gadjah Mada itu, maka terjadilah perlawanan antara rombongan pengantin dari Sunda dan pasukan di bawah pimpinan Gadjah Mada.

LAPANGAN BUBAT

Menurut Kakawin Negarakretagama karya Mpu Prapanca bahwa lapangan bubat yang menjadi tempat perang antara rombongan pengantin dari Sunda dan Pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Gadjah Mada merupakan wilayah kekuasaan Majapahit. Lapangan Bubat adalah padang rumput di bagian utara kediamaan kerajaan yang digunakan untuk acara olahraga tahunan.

PERANG BUBAT

Setelah mendapatkan restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan sebuah surat kehormatan pada Maharaja Linggabuwana Wisesa untuk meminang putrinya, Dyah Pithaloka. Setelah itu, rombongan yang dipimpin oleh Madhu datang ke Sunda untuk memberikan seserahan dan juga membicarakan waktu dan tempat pesta perkawinan Hayam Wuruk dan Dyah Pithaloka. Kemudian diambil keputusan bahwa pernikahan akan diadakan di Trowulan, ibu kota Majapahit.

Rombongan pengantin dari Sunda melakukan perjalanan menuju ke Trowulan. Ketika mereka tiba di Pesanggrahan Bubat, utusan Gadjah Mada datang membawa pesan supaya Dyah Pithaloka diserahkan sebagai tanda takluk terhadap Majapahit, Hal ini membuat rombongan pengantin marah sehingga mereka mendesak Hayam Wuruk supaya menerima Dyah Pithaloka sebagai pengantin. Namun sebelum Hayam Wuruk mengambil keputusan, Gadjah Mada telah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Bubat dan mengancam Maharaja Linggabuwana Wisesa. Tidak terima akan hal itu, terjadilah perang di antara pasukan Bhayangkara dan rombongan pengantin Sunda.

Atas perang tersebut, menyebabkan gugurnya Maharaja Linggabuwana Wisesa, para menteri, dan pejabat kerajaan Sunda. Selain itu, Dyah Pithaloka Citraresmi juga memutuskan mengakhiri hidupnya.

Hayam Wuruk merasa sangat menyesal atas kejadian itu. Dia mengirimkan Darmadyaksa untuk menyampaikan permohonan maaf kepada pihak Sunda. Selain itu, Darmadyaksa juga menyampaikan bahwa perang di Bubat akan ditulis dalam Kidung Sunda dan Kidung Sundayana. Insiden Perang Bubat menimbulkan dampak buruk baik bagi Sunda maupun Majapahit.

HAYAM WURUK PASCA PERANG BUBAT

Hayam Wuruk merasa sangat menyesal dan bersedih atas kematian Dyah Pithaloka dan segenap rombongan pengantin dari Sunda. Untuk menghormati orang - orang yang gugur dalam perang tersebut, Hayam Wuruk kemudian mengadakan upacara besar.

Diketahui setelah insiden Perang Bubat, Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi, putri dari Bhre Wengker, dan berputri Kusumawardhani yang kelak akan menikahi Wikramawardhana (Gagak Sali). Selain itu, dari seorang selir, Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra yang bergelar Bhre Wirabhumi.

AKHIR KATA

Setelah membaca sedikit sejarah di atas, bagaimana tanggapan kalian? Diketahui, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk sangatlah makmur. Namun di sisi lain, terdapat sejarah kelam yaitu terjadinya perang di Bubat antara pasukan Bhayangkara dengan rombongan pengantin dari Sunda. Selengkapnya mengenai Perang Bubat dapat Anda baca di buku Perang Bubat (1279 Saka): Membongkar Fakta Kerajaan Sunda vs Kerajaan Majapahit karya Sri Wintala Achmad.


DAFTAR PUSTAKA:

Achmad, Sri Wintala. 2019. Perang Bubat (1279 Saka): Membongkar Fakta Kerajaan Sunda vs Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: Araska.

1 komentar:

Budak Sosial Media: Apapun Supaya Populer

Girl From Nowhere , sebuah serial asal Thailand yang ditayangkan perdana pada tahun 2018 silam telah menjadi buah bibir di kalangan penggema...